Tinjauan Umum Tentang Peran dan Tanggung Jawab Pelaku Usaha Jasa Transportasi
Dalam
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 disebutkan pelaku usaha adalah
setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi.
Dalam
penjelasan undang-undang yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan,
korporasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.
Kajian atas
perlindungan terhadap konsumen tidak dapat dipisahkan dari telaah terhadap
hak-hak dan kewajiban produsen. Berdasarkan directive,
pengertian “produsen” meliputi:
(1)
Pihak
yang menghasilkan produk akhir berupa barang-barang manufaktur. Mereka ini
bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari barang yang mereka
edarkan kepada masyarakat, termasuk bila kerugian timbul akibat cacatnya barang
yang merupakan komponen dalam proses produksinya;
(2)
Produsen
bahan mentah atau komponen suatu produk;
(3)
Siapa
saja, yang dengan membubuhkan nama, merek, ataupun tanda-tanda lain pada produk
menampakkan dirinya sebagai produsen dari suatu barang.[1]
Selanjutnya Pasal 3 ayat (2) Directive menyebutkan bahwa: siapapun
yang mengimpor suatu produk ke lingkungan EC adalah produsen. Ketentuan ini
sengaja dicantumkan untuk melindungi konsumen dari kemungkinan harus menggugat
produsen asing (yang pusat kegiatannya) di luar lingkungan EC. Ketentuan
inimengharuskan importer yang mengimpor barang dari eksportir Negara ketiga
mendapatkan jaminan melalui suatu perjanjian yang menyatakan bahwa pihak
eksportir bertanggung jawab sepenuhnya atas barang yang dimasukkan EC. Lebih
lanjut lagi, pedagang/penyalur yang mengedarkan barang yang tidak jelas
identitas produsennya, bertanggung jawab atas barang tersebut. Demikian pula
tanggung jawab penyalur/pedagang ini timbul atas barang yang diimpor dari
Negara ketiga, tapi tidak jelas importirnya.[2]
Sebagian
besar Negara anggota EC telah meratifikasi Konvensi tentang Jurisdiksi,
sehingga berdasar Pasal 5 ayat (3) konvensi ini, gugatan atas product liability dapat diajukan
kepengadilan yag jurisdiksinya meliputi tempat timbulnya kerugian.
Hak-hak
produsen dapat ditemukan antara lain pada faktor-faktor yang membebaskan
produsen dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen,
meskipun kerusakan timbul akibat cacat pada produk, yaitu apabila:
(1)
Produk
tersebut sebenarnya tidak diedarkan;
(2)
Cacat
timbul dikemudian hari;
(3)
Cacat
timbul setelah produk berada di luar control produsen;
(4)
Barang
yag diproduksi secara individual tidak untuk keperluan produksi;
(5)
Cacat
timbul akibat ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh penguasa.
Di Amerika Serikat, faktor-faktor yang memebebaskan
produsen dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen meliputi:
(1)
Kelalaian
si konsumen penderita;
(2)
Penyalahgunaan produk yang tidak terduga pada saat
produk di buat (unforeseeable misuse);
(3)
Lewatnya
jangka waktu penuntutan (daluarsa), yaitu 6 (enam) tahun setelah pembelian,
atau 10 tahun sejak barang diproduksi;
(4)
Produk
pesanan pemerintah pusat (federal);
(5)
Kerugian
yang timbul (sebagian) akibat kelalaian yang dilakukan oleh produsen lain dalam
kerja sama produksi (dibeberapa Negara bagian yang mengakui joint and several liability).
Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Produsen disebut sebagai pelaku usaha yang mempunyai hak sebagai berikut:
a.
Hak
untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b.
Hak
untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad
tidak baik;
c.
Hak
untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;
d.
Hak
untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e.
Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;[3]
Menurut
pasal 7 UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, kewajiban pelaku
usaha adalah:
(a)
Beritikad baik dalam melakukan
kegiatan usahanya;
(b)
Memberikan informasi yang benar,
jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta
memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
(c)
Memperlakukan atau melayani konsumen
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
(d)
Menjamin mutu barang dan/atau jasa
yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu
barang dan/atau jasa yang berlaku;
(e)
Memberi kesempatan kepada konsumen
untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi
jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
(f)
Memberi kompensasi, ganti rugi
dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfatan
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
(g)
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak
sesuai dengan perjanjian.[4]
Hak dan kewajiban pelaku usaha:
Timbal Balik. Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban
pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak
bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian
pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha.
Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain
harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu
menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar
pelaku usaha. Kewajiban-kewajiban pelaku usaha juga sangat erat kaitannya
dengan larangan dan tanggun jawab pelaku usaha.
Meskipun secara tegas disebutkan
mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha sebagaimana tersebut dalam Pasal 6 dan
7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di atas, namun
dalam praktik biasanya pelaku usaha membuat apa yang disebut perjanjian baku.
Perjanjian baku. Menurut Farid
Wajdi, “perjanjian baku mengandung sifat yang banyak menimbulkan kerugian
terhadap konsumen. Perjanjian baku yang banyak terdapat di masyarakat dapat
dibedakan dalam beberapa jenis, antara lain;
1. Perjanjian baku sepihak, adalah
perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam
perjanjian itu. Pihak yang kuat di sini adalah pihak kreditur yang lazimnya
mempunyai posisi ekonomi kuat dibandingkan pihak debitur. Kedua pihak lazimnya
terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjain buruh kolektif.
2. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh
pemerintah, ialah perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap
perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian yang mempunyai objek hak atas
tanah.
3. Perjanjian baku yang ditentukan di
lingkungan notaris atau advokat. Adalah perjanjian yang konsepnya sejak semula
disediakan. Untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat yang meminta bantuan
notaris atau advokat yang bersangkutan. Dalam perpustakaan Belanda jenis ini
disebutkan contract model.
Walaupun belum dilakukan penelitian
secara pasti, dewasa ini sebagian perjanjian dalam dunia bisni berbentuk
perjanjian baku/perjanjian standar (standard
contract). Adapun yang dimaksud dengan perjanjian baku adalah perjanjian
yang isinya telah diformulasikan oleh suatu pihak dalam bentuk-bentuk formulir.
Kedudukan perjanjian baku. Terdapat
beberapa pendapat mengenai kedudukan perjanjian baku itu. Sluijter berpendapat:”perjanjian baku bukan lagi perjanjian. Pelaku
usaha sudah bertindak sebagai pembentuk undang-undang swasta (legio particuliere wetgever).”
Sebaliknya Pitlo
berpendapat:”perjanjian baku itu memang melanggar UU, tetapi dibutuhkan oleh
masyarakat dalam praktik.” Dalam hal ini, Hondius
memberi toleransi dengan alasan merupakan “kebiasaan (gebruik) dalam perdagangan”. Kemudian Stein memberi jalan tengah
“tetap ada perjanjian karena fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen). Karena
dengan menerimanya, konsumen telah setuju.”
Asas kebebasan berkontrak itu
penting mengingat dalam perjanjian harus terdapat adanya:
1.
Unsur esensialia,
unsur yang mutlak ada dalam suatu perjanjian (karena ditetapkan melalui UU yang
bersifat memaksa). Contoh:”Sebab yang halal”.
2.
Unsur naturalia,
unsur yang tidak mutlak ada (ditetapkan dalam UU yang bersifat mengatur; boleh
disimpangi atas kesepakatan para pihak). Contoh: Menyimpang dari pasal 1491
KUHPerdata, biaya pengiriman ditanggung oleh pembeli (bukan penjual).
3.
Unsur aksidentalia,
unsur yang tidak ditetapkan oleh UU; boleh ditambah kan atas kesepakatan para
pihak. Contoh: Jual beli rumah mencakup AC yang sudah terpasang.[5]
Dalam
UUPK pelaku usaha diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya,
sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi
pembelian barang dan/atau jasa.
Dalam UUPK tampak bahwa itikad baik
lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam
melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha
untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang/diproduksi sampai pada
tahap purna penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibakn beritikad baik
dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja
disebabkan oleh kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak
barang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha), sedangkan bagi
konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan
transaksi ddengan produsen.
Sehubungan dengan perlindungan
terhadap konsumen, yang perlu mendapat perhatian utama dalam perjanjian baku
adalah mengenai klausula eksonerasi (exoneratie
klausule exemption clausule). Yaitu klausula yang berisi pembebasan atau
pembatasan pertanggung-jawaban pihak pelaku usaha yang lazimnya terdapat dalam
jenis perjanjian tersebut. Konsep itu sudah tidak sesuai lagi, sebab sudah
tidak selaras dengan napas hukum yang terus berkembang. Dalam hal ini, klausula
baku erat kaitannya dengan UUPK. UUPK secara tegas dan detail mengatur hak dan
kewajiban konsumen, hak dan kewajiban pelaku usaha, serta hal-hal yang dilarang
dilakukan oleh pelaku usaha. Khusus mengenai klausula baku ini UUPK melarang
dengan tegas pencantuman klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian
yang tujuannya merugikan konsumen (vide Pasal 18 UUPK).[6]
Tentang kewajiban kedua pelaku usaha
yaitu memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan,
dan pemeliharaan, disebabkan karena informasi disamping merupakan hak konsumen,
juga karena ketiadaan informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan
salah satu jenis cacat produk (cacat informasi), yang akan sangat merugikan
konsumen. Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen
mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai
suatu produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapat
berupa representasi, peringatan, maupun yang berupa instruksi.
Diperlukan representasi yang benar
terhadap suatu produk, karena salah satu penyebab terjadinya kerugian terhadap
konsumen adalah terjadinya misrepresentasi terhadap produk tertentu. Kerugian
yang dialami oleh konsumen di Indonesia
dalam kaitannya dengan misrepresentasi banyak disebabkan karena tergiur oleh
iklan-iklan atau brosur-brosur produk tertentu, sedangkan iklan atau brosur
tersebut tidak selamanya memuat informasi yang benar karena pada umumnya hanya
menonjolkan kelebihan produk yang dipromosikan, sebaliknya kelemahan produk
tersebut ditutupi.
Peringatan ini sama pentingnya
dengan instruksi penggunaan suatu produk yang merupakan informasi bagi
konsumen, walaupun keduanya memiliki fungsi yang berbeda yaitu instruksi
terutama telah diperhitungkan untuk menjamin efesiensi penggunaan produk,
sedangkan peringatan dirancang untuk menjamin keamanan penggunaan produk.
Peringatan yang merupakan bagian dari pemberian informasi kepada konsumen ini
merupakan pelengkap dari proses produksi. Peringatan yang diberikan kepada
konsumen ini memegang peranan penting dalam kaitan dengan keamanan suatu
produk. Dengan demikian pabrikan (produsen pembuat wajib menyampaikan
peringatan kepada konsumen). Hal ini berlaku bagi peringatan sederhana,
misalnya “simpan diluar jangkauan anak-anak”, dan berlaku pula terhadap
peringatan mengenai efek samping setelah pemakaian suatu produk tertentu.
Peringatan demikian maupun petunjuk-petunjuk pemakaian ahrus disesuaikan dengan
sifat produk dan kelompok pemakai.
Selain peringatan, instruksi yang
ditujukan untuk menjamin efesiensi penggunaan produk juga penting untuk
mencegah timbulnya kerugian bagi konsumen. Pencantuman informasi bagi konsumen
yang berupa instruksi atau petunjuk prosedur pemakaian suatu produk merupakan
kewajiban bagi produsen agar produknya tidak dianggap cacat (karena ketiadaan
informasi atau informasi yang tidak memadai). Sebaliknya, konsumen berkewajiban
untuk membaca, atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
- Setiap
kendaraan umum wajib di asuransikan terhadap kendaraan itu sendiri maupun
terhadap kerugian yang di derita pihak ketiga sebagai akibat pengoperasian
kendaraan.
- Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Selanjutnya
tanggung jawab kepada konsumen juga sesuai dengan pasal 45 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan,
yaitu:
- Pengusaha
angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang di derita oleh
penumpang, pengirim barang atau pihak ketiga, kerena kelalian dalam
melaksanakan pelayanan angkutan;
- Besarnya
ganti brugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sebesar kerugian
yang secara nyata di derita oleh penumpang, pengirim barang atau pihak
ketiga.
- Tanggung
jawab pengusaha angkutan umum terhadap penumpang sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat (1), dimulai sejak diterimannya barang yang diangkutnya sampai
di tempat tujuan pengangkutan yang telah disepakati.
- Tanggung
jawab pengusaha angkutan umum terhadap pemilik barang sebagaimana
dimakasud dalam ayat (1), dimulai sejak di teriamnnya barang yang akan
diangkut sampai diserahkannya barang kepada pengirim dan/atau penerima barang.
Kedudukan
konsumen yang lemah dari pada pelaku usaha mengakibatkan konsumen lebih
membutuhkan pihak lain untuk melindungi dirinya baik oleh pemerintah maupun
dari kelembagaan swadaya masyarakat itu sendiri, peranan pemerintah dalam
memberikan perlindungan bagi konsumen diwujudkan dengan menertibkan
peraturan-peraturan yang menyangkut kepentingan konsumen.[7]
[1] Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit, hlm. 41
[2] Ibid, hlm. 42
[3] M.Sadar, dkk, Op.Cit, hlm. 33.
[4] Lihat Pasal 7 UU No.8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen.
[5] M.Sadar, dkk, Op.Cit, hlm. 35.
[6] Ibid, hlm. 55.
[7] Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, Djambatan, Bandung, 1999, hlm. 34.
Komentar
Posting Komentar